TRANFORMASI PONDOK PESANTREN
GHUFRON. M,Pd[1]
PENDAHULUAN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia sebagaimana menjadi kesepakatan para peneliti sejarah pendidikan di negeri yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini. Pada mulanya pesantren didirikan oleh para penyebar Islam sehingga kehadiran pesantren diyakini mengiringi dakwah Islam di negeri ini, kendati bentuk sistem pendidikannya belum selengkap pesantren sekarang. Pada dataran substantif pesantren telah berdiri pada awal masa Islam di Indonesia, tetapi pada dataran bentuk mengalami perubahan yang sangat signifikan.
Perbedaan persepsi para ahli tentang keberadaan pesantren sebenarnya lebih dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Bagi mereka yang mengamati pesantren dari segi substansinya, akan cenderung menegaskan bahwa pesantren itu lahirnya beriringan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sedangkan bagi mereka yang mengamatinya dari parameter pesantren yang ada sekarang ini tentu memandang kehadiran pesantren barn saja pada abad belakangan ini.
Kyai yang mengajar memiliki metode khusus. Metode bandungan dan sorogan menjadi andalan utama dalam proses transfer ilmu. Hal ini dilakukan sebab biasanya pondok pesantren memiliki banyak santri dengan satu atau dua kyai / ustadz. Perbandingan jumlah santri yang besar menjadikan metode bandungan menjadi solusi, agar materi tersampaikan pada setiap siswa meski dengan satu/dua orang guru. Sorogan biasanya digunakan pada materi yang membutuhkan hafalan. Sorogan ini dilayani oleh santri senior yang dipercaya oleh kyai untuk menerima sorogan santri yuniornya. Metode bandungan bertahan pula di pendidikan formal masa kini, hal ini membuktikan bahwa pondok pesantren memberi andil dalam penentuan metode ajaran. Begitupun sorogan juga memberi warisan yang diadopsi oleh dunia formal dengan istilah tutor sebaya.
Pondok pesantren tipe atas merupakan pondok pesantren zaman dahulu. Pada era kini pondok pesantren mengalami perubahan yang signifikan seiring laju perubahan masyarakat Indonesia. Materi-materi pendidikan yang dilayani juga bertambah. Tidak hanya pembelajaran kitab kuning, kini banyak pondok pesantren yang menawarkan keunggulan bahasa, tidak hanya bahasa arab tapi bahasa asing lainnya. Selain itu banyak pondok pesantren yang membekali santri dengan ketrampilan kehidupan, sehingga diharapkan santri ketika pulang dari pesantren tidak hanya terampil memimpin tahlilan namun akan tampil menjadi pelopor kemajuan ekonomi masyarakat secara luas.
Terbukti hanya pondok pesantren yang mau berubah, yang akhirnya mampu bertahan dan eksis hingga kini. Dari materi klasik menjadi ditambah materi ketrampilan, dari tertutup menjadi terbuka dengan seluruh elemen maupun lembaga masyarakat yang memiliki tujuan yang sama yaitu membangun bangsa melalui pendidikan. Makalah ini akan memberikan informasi tentang perubahan pelayanan pendidikan pondok pesantren, yang awalnya hanya terpaku pada kitab kuning yang akhirnya berubah menjadi pondok pesantren yang ber-dunia formal serta berteknologi.
A.Sejarah dan Karakteristik Pondok Pesantren
1.Sejarah Pondok Pesantren
Mengenai asal-usul pondok pesantren, terdapat dua pandangan yang sebenarnya saling melengkapi. Menurut Karel A. Steenbrink yang mengutip dari Soegarda Purbakawatja, menyatakan bahwa pendidikan pondok pesantren jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India dan dari masyarakat Hindu. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan banyak tersebar di Pulau Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam. Sementera Mahmud Yunus menyatakan, bahwa asal-usul pendidikan yang digunakan pondok pesantren berasal dari Baghdad dan merupakan bagian dari sistem pendidikan saat itu.[2]
Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi pesantren ini merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang diselenggarakan orang-orang Hindu dan Budha. Sebagaimana diketahui sewaktu Islam datang dan berkembang di pulau Jawa telah ada lembaga perguruan Hindu dan Budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya.[3]
Pendapat serupa dikemukakan oleh sejarawan Sugarda Purbakawactja. Menurutnya, terdapat beberapa persamaan antara unsur-unsur yang terdapat dalam sistem pendidikan Hindu dengan sistem pendidikan pesantren yang tidak terdapat dalam sistem pendidikan Islam yang asli di Makkah. Unsur-unsur yang dimaksud adalah seluruh sistem pendidikannya bersifat agamis, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dan murid pergi meminta ke luar lingkungan pondok.[4]
Bentuk pendidikan seperti ini kemudian menjadi contoh model bagi para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran Islam kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk sistem biara dan asrama dengan merubah isinya dengan pengajaran agama Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan pondok pesantren.[5] Pesantren muncul bersamaan dengan proses Islamisasi yang terjadi di Bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, dan terus berkembang sampai saat ini.
Menurut M. Abd Muin, mendefinisikan pondok pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang kharismatik serta independen dalam segala hal. Lahirnya lembaga pendidikan pesantren sesungguhnya bisa dilacak sejak periode Walisongo. Namun keberadaan lembaga ini dalam pengertian modern hanya bisa ditemukan pada abad ke-18 dan 19. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai tempat di mana proses pengembangan keilmuan, moral dan keterampilan para santri menjadi tujuan utamanya.[6]
Perkataan pesantren berasal dari kata santri. Sedangkan asal usul kata “santri” dalam padangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, yang artinya melek huruf. Pendapat ini didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Dan pendapat yang mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau sarjana ahli kitab suci Agama Hindu.[7]
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.[8]
Di indonesia istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari sebutan bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana. Pengertian terminologi pesantren tersebut, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. [9]
Jika kita mengkaji tentang sejarah budaya Jawa dan pendidikan, maka pesantren merupakan institusi yang tak dapat ditinggalkan. Menurut Dawam rahardjo bahwa pondok adalah hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan Kebudayaan Islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain dengan warna Indonesia. Melalui konsep dan model pembelajaran pesantren yang sederhana ini kemudian dilanjutkan oleh para Ulama sampai sekarang. Hal itu menunjukkan keberhasilan Walisongo khususnya Maulana Malik Ibrahim yang pertama kali memperkenalkan pesantren. khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim salah satu spiritual father Walisongo yang meninggal tahun 1419 di Gresik dalam masyarakat Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.[10]
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pesantren adalah institusi pendidikan islam tertua di Indonesia. Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu pula Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi. Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing.
2.Karakteristik Pondok Pesantren
Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar luas di Indonesia mengandung unsur-unsur tertentu sebagai karakteristiknya. Secara umum pesantren dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern).
Sebuah pesantren disebut pesantren salaf jika dalam kegiatan pendidikannya semata-mata berdasarkan pada pola-pola pengajaran klasik atau lama, yakni berupa pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran tradisional serta belum dikombinasikan dengan pola pendidikan modern. Sedangkan pesantren khalaf atau modern adalah pesantren yang di samping tetap dilestarikannya unsur-unsur utama pesantren, juga memasukkan unsur-unsur modern yang ditandai dengan klasikal atau sekolah dan adanya materi ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulumnya. Pada pesantren ini sistem sekolah dan adanya ilmu-ilmu umum digabungkan dengan pola pendidikan pesantren klasik.
Dengan demikian, pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbarui dan dipermodern pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah.[11]
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sederhana seperti apa yang digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan zaman. Sebagaimana yang dijelaskan Yaqub dalam “:Pondok pesantren dan pembangunan masyarakat desa” sebagai berikut:
a) Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.
b) Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
c) Pesantren kilat, yaitu pesantren yng tertentu semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitikberatkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan di pesantren kilat.
d) Pesantren terintegrsai, yaitu pesantren yang mekekankan pada pendidikan vokasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di departemen tenaga kerja dengan program terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.[12]
Ada tiga karakteristik yang dikenali sebagai basis kultur pesantren, yakni:
· Pesantren sebagai lembaga tradisioanalisme
Tradisionalisme dalam konteks pesantren harus dipahami sebagai upaya mencontoh tauladan yang dilakukan para ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan ajaran Islam agar terhindar dari bid’ah, khurafat, takhayul serta klenik.
· Pesantren sebagai pertahanan budaya
Mempertahankan budaya dengan ciri tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Ide mempertahankan budaya ini telah mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren.
· Pesantren sebagai pendidikan keagamaan
Pendidikan pesantren didasari, digerakkan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam.[13]
Unsur-unsur penting dan suasana yang menandai pendidikan pesantren yang dianggap sebagai elemen pokok sebuah pesantren menurut pandangan Dhofier yaitu kyai, pondok, masjid, santri dan pengajian kitab klasik.[14]
B.Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Pondok Pesantren dalam tinjauan historis pada mulanya merupakan lembaga pendidikan penyiaran agama Islam konon tertua di Indonesia. Sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat, fungsi itu telah berkembang menjadi semakin kaya dan bervariasi, walaupun pada intinya tidak lepas dari fungsi semula. Berdirinya suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kyai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya, maupun luar daerah. Oleh karena itu mereka membangun tempat tinggal disekitar tempat tinggal kyai.
Sedangkan mengenai asal-usul berdirinya suatu pondok pesantren di Indonesia, dalam Eksiklopedi Islam disebutkan terdapat dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar dari tradisi tarekat. Kedua, pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan dari orang-orang Hindu Nusantara.
Pada pendapat pertama menjelaskan bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok-kelompok tarekat yang melaksanakan amalan amalan dzikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpinnya dinamakan kyai, yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama dengan anggota tarekat lain dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan ruang khusus untuk penginapan dan tempat memasak, yang terletak dikiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat para pengikut ini juga diajarkan kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pendidikan Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut tarekat ini kemudian disebut pengajian. Dalam perkembangannya lembaga ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.[15]
Sedangkan pada pendapat yang kedua berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum Islam datang ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendidikan pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Fakta lain mengatakan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam, karena tidak ditemukan lembaga pesantren di negeri Islam lainnya. Sementara ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha seperti di Indian, Myanmar dan Thailand.
Pendapat di atas diperkuat oleh Nurcholish Madjid, secara historis, lembaga pesantren telah dikenal lebih luas dikalangan masyarakat Indonesia pra Islam. Islam datang dan tinggal mengislamkan. Dengan kata lain, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous), lantaran lembaga yang merupakan pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha.
Menurut Hasbullah, pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang pesat pada abad 19. Di Jawa terdapat tidak kurang 1.853 pesantren, dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500 santri. Jumlah tersebut belum termasuk pesantren-pesantren yang berkembang di luar Jawa seperti di Sumatra, Kalimantan dan lain-lain. Sedangkan dari segi materi, perkembangannya terlihat pada tahun 1920-an di pondok-pondok pesantren Jawa Timur, antara lain seperti: Pesantren Tebuireng di Jombang, pesantren Singosari di Malang yang mengajarkan ilmu-ilmu pendidikan Umum, seperti matematika, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi dan sejarah.
Pesatnya perkembangan pesantren pada masa ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) para ulama dan kyai mempunyai kedudukan yang kokoh dilingkungan kerajaan dan keraton, yakni sebagai penasehat raja atau sultan, oleh karena itu pembinaan pondok pesantren mendapat perhatian besar dari para raja dan sultan; (2) kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman semakin meningkat, sementara sekolah-sekolah Belanda waktu itu hanya diperuntukkan untuk golongan tertentu; (3) hubungan transformasi antara Indonesia dan Mekkah semakin lancar sehingga memudahkan pemuda-pemuda Islam Indonesia menuntut ilmu di Mekkah.[16]
Berkaitan dengan perkembangan pondok pesantren yang diuraikan di atas, menurut Hadi Mulyo bahwa sejak tahun 1960-an pondok pesantren mengalami perkembangan baru dengan melembagakan diri dalam bentuk yayasan.[17][15] Berikut adalah contoh tipe pondok pesantren yang berada di bawah naungan yayasan; pondok pesantren Asy-syafii’iyayah Ibrahimyah (Situbondo, Jawa Timur). Bahkan, berdasarkan hasil penelitiannya tentang perubahan pondok pesantren ini, ditemukan lima macam pola pondok pesantren dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Kelima pondok pesantren yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Menurut para ahli, pasantren baru disebut pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu: ada kyai, ada pondok, ada masjid, ada santri, dan ada pengajaran membaca kitab kuning. Dengan demikian bila orang menulis tentang pesantren maka topik-topik yang harus ditulis sekurang-kurangnya adalah:
Adapun metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah sebagai berikut:
1. Wetonan.
2. Sorogan.
3. Muhawarah.
4. Mudzakarah.
5. Bandungan.
6. Majelis Taklim.[20]
Perkembangan pondok pesantren dewasa ini semakin baik. Pesantren merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem nonklasikal. Adapun santrinya/ muridnya dapat bermukim di pondok yang disediakan atau merupakan “santri kalong”. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mengajarkan materi yang bersifat umum dan khusus (keagamaan). Pengajaran tersebut berkaitan dengan hal-hal berikut[21]:
tauhid dikembangkan substansi materi yang berhubungan dengan rukun iman.
2. Pelajaran syari’ah yang berhubungan dengan hukum Islam atau fiqih,
yaiu fiqih ibadah dan fiqih mu’amalah.
3. Pelajaran bahasa arab yaitu, ilmu nahwu, shorof, ilmu bayan, balaghah,
dan ilmu ma’ani.
4. Pelajaran ilmu-ilmu al-quran.
5. Pelajaran ilmu fiqih dan ushul fiqih.
6. Pelajaran ilmu manthiq.
7. Pelajaran etika Islam dalam pergaulan sehari-hari atau bahrul adab.
8. Pelajaran kerisalahan nabi muhammad saw.
9. Pelajaran ilmu hadits.
10. Bahasa inggris
11. Ilmu kimia, matematika, fisika.
12. Ilmu fara’id.
13. Ilmu falaq.
14. Bahasa indonesia.
15. Pancasila.
16. Keterampilan.
17. Muthala’ah.
18. Fiqih lima madzhab.
19. Ilmu tafsir.
20. Ilmu tajwid.
21. Bahstul kutub.
Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya, yaitu:
1. Adanya hubungan akrab antara santri dengan kyainya
2. Adanya kepatuhan santri kepada kyai
3. Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4. Kemandirian
5. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan
6. Pemberian ijazah.[22]
Ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian pesantren. Kemajuan tersebut menjadikan pondok pesantren pada zaman sekarang ini berkembang menjadi lebih modern. Dengan demikian, apabila dilihat dari corak, pesantren dapat kita temukan dalam dua macam, salafi dan khalafi. Pesantren salafi atau lebih sering disebut psantren tradisional adalah pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya, pesantren ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keislaman. Sedangkan pesantren yang mempunyai corak modern atau pesantren khalafi telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi yang sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing pun sangat ditekankan.[23]
1. PP 55 tahun 2007
PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan telah ditetapkan Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 5 Oktober 2007 dan kemudian diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta, pada tanggal 5 Oktober 2007.[24]Diundangkannya PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah sebagai amanat dari UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tersebut pada klausul menimbang PP RI No. 55 Tahun 2007, “Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.”
Lembaran Penjelas atas PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan menjelaskan, “Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.”[25]
Penjelasan PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan terkait dengan Pendidikan Keagamaan Islam termaktub pada Pasal 14 s.d Pasal 26. Pada Pasal 14 ayat (1), disebutkan: “Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.” Artinya, pendidikan keagamaan Islam di Indonesia ada dua bentuk, yaitu : Pendidikan Diniyah dan Pesantren.
Melihat jumlah pasal terkait dengan pendidikan keagamaan Islam dari Pasal 14 s.d Pasal 26, terdapat sepuluh pasal yang menjelaskan pendidikan diniyah, yaitu dari Pasal 15 s.d Pasal 25, dan hanya satu pasal yang menjelaskan pesantren, yaitu Pasal 26. Satu pasal, yaitu Pasal 14 merupakan penjelasan umum tentang pendidikan keagamaan Islam.
Penjelasan dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pesantren hanya ada satu pasal yang terdiri dari tiga ayat. Satu pasal tersebut menjelaskan tentang tujuan dari penyelenggaraan pesantren, jenis pendidikan yang diselenggarakan, dan menjelaskan status peserta didik dan pendidik di pesantren.
Tujuan penyelenggaraan pesantren dijelaskan untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
Jenis pendidikan yang diselenggarakan pesantren adalah pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
Penjelasan mengenai pendidik dan peserta didik dalam pasal ini menjelaskan bahwa jikalau peserta didik dan/atau pendidik yang diakui keahliannya dalam ilmu agama, tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan perundang-undangan.
Lahirnya PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah sebagai pemecahan masalah untuk pendidikan keagmaan Islam di Indonesia. PP ini merupakan hasil amanat UU RI No. 20 Tahun 2003. UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan pertama yang memberikan legalitas diakuinya kesejajaran pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan Nasional. Karena, sebelum UU RI No. 20 Tahun 2003 ini diundangkan keberadaan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia legalitasnya lemah, sehingga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia dianggap bukan tanggung jawab pemerintah. Oleh sebab itu, PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah kebijakan turunan yang pertama yang secara khusus diundangkan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.
Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam ada tiga belas pasal (Pasal 14 s.d Pasal 26) yang secara khusus berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam (pendidikan diniyah dan pesantren) dan ada enam pasal (Pasal 8 s.d Pasal 13) yang secara umum berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam.
2. PMA RI No. 13 Tahun 2014
PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam telah ditetapkan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifudin pada tanggal 18 Juni 2014 dan kemudian diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin pada tanggal 18 Juni 2014.[26]
Diundangkannya PMA RI No. 13 Tahun 2014 adalah sebagai amanat dari PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan sebagaimana yang tersebut pada klausul menimbang PMA RI No. 13 Tahun 2014, “Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3), Pasal 13 ayat (5), dan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan keagamaan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam.”
PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan: “Pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agama Islam.”
Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam bertujuan untuk :
kepada Allah SWT.
untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, dan
kesalehan individual dan sosial dengan menjunjung tinggi jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), rendah hati (tawadhu), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), keteladanan (uswah), pola hidup sehat, dan cinta tanah air.
Rumusan PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam terdiri atas enam bab, yaitu:
3. PMA RI No. 18 Tahun 2014
PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren telah ditetapkan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifudin pada tanggal 14 Juli 2014 dan kemudian diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin pada tanggal 14 Juli 2014.[27]
PMA RI No. 18 Tahun 2014 Pasal 1 menyebutkan, “Satuan pendidikan muadalah pada pondok pesantren yang selanjutnya disebut satuan pendidikan muadalah adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan basis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur yang dapat disetarakan dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Kementerian Agama.”
Pendidikan di pondok pesantren yang tidak mengikuti standar kurikulum Depag RI maupun Departemen Pendidikan Nasional di kalangan pondok pesantren disebut dengan pendidikan pondok pesantren mu’adalah (pendidikan pondok pesantren yang disetarakan dengan Madrasah Aliyah/SMA). Pendidikan pondok pesantren tersebut disetarakan dengan madrasah aliyah melalui SK Dirjen Pendidikan Islam Depag RI dan oleh SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional untuk yang disetarakan dengan SMA. Proses penyetaraan (mu’adalah) ini telah berlangsung lama sejak tahun 1998 hingga sekarang sebagai langkah pengakuan (recognition) pemerintah terhadap eksistensi pendidikan di kalangan pondok pesantren yang pada saat itu belum terakomodir di dalam sistem pendidikan nasional.
Kemudian pada tahun 2003, pendidikan diniyah dan pesantren resmi secara tersurat ada di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 30 ayat 1-4. Tetapi kendatipun belum sepenuhnya pendidikan pondok pesantren mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan di Indonesia, pada umumnya mereka tetap berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 93 ayat 1-3 yang berbunyi “Penyelenggaraan satuan pendidikan yang tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan dapat memperoleh pengakuan dari Pemerintah atas dasar rekomendasi dari BSNP”. . . .dst.
Mayoritas Pendidikan pondok pesantren Mu’adalah yang berjenjang 6 tahun setelah jenjang Ibtidaiyyah, seperti KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyyah), TMI (Tarbiyatul Muallimin al-Islamiyyah) dan nama lain yang sejenisnya merupakan salah satu program unggulan yang dikembangkan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI.[28]
Rumusan PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren terdiri atas:
4. UU Sisdiknas
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 ditetapkan oleh Presiden RI, Megawati Soekarno Putri pada tanggal 8 Juli 2003. Dan kemudian diundangkan oleh Sekretaris Negara RI, Bambang Kesowo pada tanggal 8 Juli 2003.[29]
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,” (Pasal 12 ayat a).
Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 ini lah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.”
Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat (1) ini ditegaskan, “pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia”. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan, (MP3A) Departemen Agama menambahkan, pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan tiga prinsip dasar, di antaranya: Pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Kedua, pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga, pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.[30]
Dengan lahirnya UU No, 20 Tahun 2003 semakin mempertegas kedudukan pendidikan agama Islam sebagai salah satu elemen terciptanya tujuan pendidikan nasional secara umum. Sebagaimana pada Pasal 3, Pendidikan Nasional mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi pesersta didik agar menjadi manusian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal 12 ayat 1a, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Maka dalam hal ini, Ditjen Pendidikan Islam berpeluang besar untukmengembangkan kapasitas kelembagaannya dengan meningkatkan kualitas sistem dan layanan pendidikan agama Islam dalam rangka kensuksesan tujuan pendidikan nasional.
C.Satuan Pendidikan Mu’adalah Pada Pondok Pesantren
1.Pengertian Pondok Pesantren Mu’adalah
Secara terminologi, pengertian mu’adalah adalah suatu proses penyetaraan antara institusi pendidikan baik pendidikan di pondok pesantren maupun di luar pontren dengan menggunakan kriteria baku dan mutu/kualitas yang telah ditetapkan secara adil dan terbuka. Selanjutnya hasil dari mu’adalah tersebut, dapat dijadikan dasar dalam meningkatkan pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren.[31]
Dalam konteks ini, pondok pesantren mu’adalah yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) bagian; Pertama, pondok pesantren yang lembaga pendidikannya dimu’adalahkan dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri seperti Universitas al-Azhar Cairo Mesir, Universitas Umm al-Qurra Arab Saudi maupun dengan lembaga-lembaga non formal keagamaan lainnya yang ada di Timur Tengah, India, Yaman, Pakistan atau di Iran. Pondok pesantren-pondok pesantren yang mu’adalah dengan luar tersebut hingga saat ini belum terdata dengan baik karena pada umumnya mereka langsung berhubungan dengan lembaga-lembaga pendidikan luar negeri tanpa ada koordinasi dengan Depag RI maupun Departemen Pendidikan Nasional.
Kedua, pondok pesantren mu’adalah yang disetarakan dengan Madrasah Aliyah dalam pengelolaan Depag RI dan yang disetarakan dengan SMA dalam pengelolaan Diknas. Keduanya mendapatkan SK dari Dirjen terkait.
2.Tujuan
Tujuan Mu’adalah Pendidikan Pontren dengan Madrasah Aliyah dan SMA adalah
3.Kriteria Pendidikan Pontren Yang Dimu’adalah
sosial yang berbadan hukum.
4.Sasaran
Sasaran dari program pondok pesantren mu’adalah/penyetaraan ini adalah Lembaga Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pontren, yang mengajukan permohonan untuk disetarakan lulusannya setingkat dengan Madrasah Aliyah/SMA diantaranya:
D.Rintisan Pesantren Luhur Dan Ma’had’Aly
Secara etimologi Ma’had ‘Aly berarti “Pesantren Tinggi” atau dengan kata lain setingkat dengan perguruan tinggi. Dalam konteks pesantren, sebagai suatu institusi, Ma’had ‘Aly merupakan pendidikan tinggi keagamaan yang merupakan lanjutan dari pendidikan diniyah tingkat ‘Ulya atau pendidikan pasca pesantren.[35]
Ma’had ‘Aly adalah lembaga pendidikan ulama tingkat tinggi sebagai lanjutan dari pendidikan dan pengajaran diniyah tingkat Aliyah atau yang sederajat.[36]
Dari sedikit pengertian di atas dapat dikatakan bahwa Ma’had ‘Aly merupakan satuan pendidikan tingkat tinggi keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan di pondok pesantren untuk menghasilkan ahli ilmu agama Islam, dengan kekhususan bidang keilmuan tertentu berbasis kitab kuning, serta bisa mengeluarkan gelar akademik.
Sejarah Munculnya Ma’had ‘Aly dilatar belakangi oleh langkanya pendidikan formal yang secara khusus mencetak ulama’ dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, meskipun banyak perguruan tinggi Islam. Seperti diketahui seiring dengan peningkatan modernisasi, kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia terus berubah dan berdampak pada pola keberagaman yang lebih rasional dan fungsional. Sebagai implikasi dari hal tersebut, adalah otoritas keulama’an harus beradapan dengan aneka tuntutan masyarakat pada sebuah perikehidupan yang cenderung pragmatis.[37]
Eksistensi Ma’had ‘Aly di Indonesia pada awalnya muncul dari beberapa pesantren terutama di Jawa sebagai upaya pengembangan dari program takhasshush yang merupakan jenjang pendidikan tingkat tinggi dalam tradisi pendidikan pondok pesantren khususnya yang mempertahankan sistem klasik dengan orientasi pengkaderan ulama, melalui jenjang takhasshush inilah dibina para kader ulama (biasa disebut kiyai) yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan bidang spesialisasi keilmuan yang diprogramkan. Ide kemunculan Ma’had ‘Aly beranjak dari sebuah kenyataan dan keadaan yang sebenarnya yang menunjukan bahwa dekade terakhir ini mulai dirasakan ada “penggeseran” peran dan fungsi pondok pesantren.
Peran dan fungsi pesantren sebagai ” kawah candradimuka” orang yang rasikh fi al-dîn terutama yang terkait dengan pemahaman fikih semakin memudar. Penyebabnya tidak lain adalah desakan gelombang modernisasi, globalisasi dan informasi yang berakibat pada bergesernya arah hidup masyarakat Islam. Bukti terkuat yang mudah ditemukan ditengah masyarakat muslim adalah semakin kendornya minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Kondisi ini bertambah “genting” dengan banyaknya ulama yang meninggal sebelum sempat mewariskan ilmu dan kesalehannya secara utuh kepada generasi selanjutnya. Beberapa faktor inilah yang menjadikan pondok pesantren dari waktu kewaktu mengalami kemunduran, baik dalam amaliyah, ilmiyah, maupun budi pekerti.[38]
Penurunan peran dan fungsi pesantren ini memunculkan kerisauan dan kegelisahan di kalangan ulama’ akan punahnya khazanah ilmu-ilmu keislaman. Jika persoalan ini tidak ditangani secara serius tentu sangat membahayakan masa depan umat Islam. Dari sinilah ulama’ merasa penting dan segera membentuk sebuah lembaga yang secara khusus giat mempersiapkan kader-kader ulama’ yang memiliki kejujuran, ketulusan ilmiyah, dan amaliyah yang mumpuni. Atas dasar pemikiran itulah Ma’had ‘Aly didirikan.
Salah satu program pendidikan untuk menyiapkan kader ulama’ yang sudah lama dilaksanakan di kalangan pesantren dan telah mendapat legalitas dari pemerintah sejak tahun 2002 adalah Ma’had’Aly. Ide ini lahir tahun 1989 dari hasil konsensus para kyai pesantren yang dimotori almarhum K.H. As’ad Syamsul Arifin. Kemudian secara resmi didirikan pada tanggal 21 Februari 1990, di Sukorejo Situbondo. Pendirinya adalah K.H. As’ad Syamsul Arifin. Lembaga pasca pesantren pertama ini kemudian dikenal dengan Al-Ma’had ‘Aly Lil Ulum al-Islamiyah Qism al- Fiqh. Ma`had Aly yang dirintis kiai As`ad ini merupakan pelopor kehadiran di tengah-tengah masyarakat pesantren di Indonesia. Dan didisain untuk melahirkan ulama-ulama yang andal dan profesional, terutama ulama yang ahli di bidang fiqh.[39]
Melihat sejarah pendirian Ma’had ‘Aly di atas dapat dikatakan bahwa Ma’had ‘Aly merupakan eksistensi dari suasana psikologis kekhawatiran dan kerisauan seorang ulama yang menyadari akan pentingnya kaderisasi ulama khususnya pada bidang fikih dimana pada saat itu menurut beliau- mengalami krisis kader ulama yang mampu mengayomi masyarakat.
KESIMPULAN
Kehadiran pesantren pada awalnya menjadi tempat sosialisasi anak-anak dan remaja, sekaligus tempat belajar agama. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan. Pada perkembangannya peran pesantren dikembangkan kepada upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, pendidikan di pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial.Kiprah pesantren menjadi salah satu alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
Pesantren sejatinya memiliki potensi besar dalam mengembangkan character building. Peran historis pesantren dalam proses nation building, menjadi modal utama bagi dunia pesantren untuk kembali mengambil peran sosial politik dalam proses character building.
Penanaman kesadaran pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan pesantren, akan memberikan arti penting pada proses character building. Setidaknya, peran pesantren dalam memberikan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada santri dan lingkungannya, akan meletakkan proses pengembangan character building pada track yang tepat.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks di lingkungan masyarakat, maka pondok pesantren harus berani tampil dan mengembangkan dirinya sebagai pusat keunggulan. Pondok pesantren tidak hanya mendidik santri agar memiliki ketangguhan jiwa (taqwimu al-nufus), jalan hidup yang lurus, budi pekerti yang mulia, tetapi juga santri yang dibekali dengan berbagai disiplin ilmu keterampilan lainnya, guna dapat diwujudkan dan mengembangkan segenap kualitas yang dimilikinya.
Dari zaman ke zaman, generasi ke generasi peran pondok pesantren melalui fungsi dan tugas santri adalah memperjuangkan tegaknya nilai-nilai religius serta berjihad mentransformasikannya ke dalam proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Tujuan yang dimaksud adalah agar kehidupan masyarakat berada dalam kondisi berimbang (balanced) antara aspek dunia dan ukhrawi
Pesantren dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan membentuk pola hubungan fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Abd Muin M. dkk, 2007. Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren. Jakarta: CV. Prasasti.
Akhiruddin, KM. Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara, Jurnal Tarbiyah Volume: 1 No. 1, 2015, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Arifin, Imron. 1995. Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press.
Bandung: Mizan Pustaka
Basri, Hasan dan Beni Ahmad Saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam Jilid II. Bandung: Pustaka Setia.
Departemen Agama RI., 2003. Pola pembelajaran di Pesantren. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Fatah Syukur, 2007, “Ma’had ‘Aly Lembaga Tinggi Pesantren Pencetak Kader Ulama’ (Studi di Pesantren Ma’had ‘Aly Situbondo dan Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes),” Forum Tarbiyah
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidika Islam dalam Kurun Modern, Jakarta : LP3 ES, 1994.
Karni, Asrori S, 2009, Etos Studi Kaum Santri, Wajah Baru Pendidikan Islam
Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Lembaran Isi PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pada halaman terakhir.
Lembaran Isi PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren halaman terakhir.
Lembaran Isi PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada halaman terakhir.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112.
Lembaran Penjelas atas PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bagian I. Umum, Paragraf ke-6.
[1] Alumni Lirboyo, Dosen Unzah
[2] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah,Pendidika Islam dalam Kurun Modern,(Jakarta : LP3 ES, 1994). Hlm.22
[3] Departemen Agama RI., Pola pembelajaran di Pesantren (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm.4
[4] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia……..hlm.96-97
[5] Departemen Agama RI., Pola pembelajaran di Pesantren ……, hlm.4
[6] M.Abd Muin dkk, Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren (Jakarta: CV. Prasasti, 2007) hlm.16-17
[7]Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 61
[8]Yasmadi, Modernisasi Pesantren, ….., hlm. 61-62
[9]Yasmadi, Modernisasi Pesantren, ….., hlm.62
[10]http://serambipesantren.com/2016/02/26/sejarah-pesantren-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 16 September 2017
[11] Departemen Agama RI., Pola pembelajaran di Pesantren……..Hlm7-8
[12] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia…….Hlm.100-101
[13] Zubadi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 16-17
[14] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia…….Hlm.99
[15]KM. Akhiruddin, Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara, Jurnal Tarbiyah Volume: 1 No. 1, 2015, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, hlm. 198.
[16]KM. Akhiruddin, Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara,………..hlm 199
[17]Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan, Melacak Geologi Pendidikan Islam di indonesia, (Bandung: Mulia Press, 2008), hlm. 182.
[18]Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan, Melacak Geologi Pendidikan Islam di indonesia,,,,,,,,,., hlm. 183-184.
[19]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 191.
[20]Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasahada Press, 1995), hlm. 39.
[21]Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.235-236.
[22]Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 118-119.
[23]Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hlm. 290.
[24]Lembaran Isi PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada halaman terakhir.
[25]Lembaran Penjelas atas PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bagian I. Umum, Paragraf ke-6.
[26]Lembaran Isi PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pada halaman terakhir.
[27]Lembaran Isi PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pada halaman terakhir.
[28]Pedoman Penyelenggaraan Pondok Pesantren Muadalah.
[29] Lembaran Isi PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren halaman terakhir.
[30]http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis
[31] Lembaran Isi PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren
[32] Lembaran Isi PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren
[33] Lembaran Isi PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren
[34] Lembaran Isi PMA RI No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren
[35] Karni, Asrori S, Etos Studi Kaum Santri, Wajah Baru Pendidikan Islam (Bandung: Mizan Pustaka, 2009) hal. 250
[36] Lihat statuta Ma’had Aly dalam Bagian Proyek Peningkatan Ma’had ‘Aly, Pedoman Penyelenggaraan Ma’had ‘Aly. Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Depertemen Agama RI 2004. Hal 94
[37] Bagian Proyek Peningkatan Ma’had ‘Aly. . …, hal 4
[38] Fatah Syukur, Ma’had ‘Aly Lembaga Tinggi Pesantren Pencetak Kader Ulama’ (Studi di Pesantren Ma’had ‘Aly Situbondo dan Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes,” Forum Tarbiyah 2 (Desember 2007), hal.153
[39] Abu Yazid, Membangun Islam Tengah, (Yogyakarta :Pustaka Pesantren, 2010), hal. 15

Beri Komentar